Sabtu, 23 Oktober 2010 | By: Kang Jarrod

FILSAFAT WAYANG

Latar Belakang
Kebudayaan tidak berakar dari dorongan seks semata, seperti dikatakan oleh Sigmund Frued. Kebudayaan Indonesia menunjukkan dorongan yang lebih manusiawi. Dengan meneliti jejak wujud kebudayaan Indonesia menampakkan pola kearah dorongan spiritual. Wayang sebagai salah satu hasil kebudayaan asli Indonesia menunjukkan pola spiritual itu. 
Wayang merupakan hasil, cipta rasa dan karsa manusia Indonesia oleh proses daya spiritual. Pengamatan yang mendalam terhadap wayang menunjukkan bahwa wayang bukan seni yang bertujuan untuk kepuasan biologis tetapi memberikan kepuasaan batiniah. Nonton pergelaran wayang
merupakan proses introspeksi intuitif terhadap simbol-simbol kehidupan disertai pembersihan intelektual dan penyucian moral sehingga mendapatkan pencerahan rohani.
Pergelaran wayang mamakai logika dongeng tetapi logika itu atas dasar nilai-nilai realitas seharĂ­-hari. Wayang merupakan cermin kehidupan manusia secara kongkrit. Oleh karena itu, filsafat wayang berakar pada realitas nilai-nilai kehidupan di masyarakat Indonesia. Visi dan intuisi dari kenyataan hidup dan kehidupan masyarakat Indonesia dituangkan dalam wayang dengan memakai banyak simbol yang menyimpan filsafat tersembunyi. Simbol tersebut merupakan tempat istirahat yang menyimpan pemikiran khas Indonesia. Simbol-simbol itu perlu ditafsir kembali. Interpretasi terhadap simbol-simbol dalam wayang perlu diusahakan secara obyektif untuk membedah gagasan dan pemikiran khas
Indonesia; selanjutnya menyusunnya ke dalam sistematika filsafat wayang secara komprehensif (genah dan ganep).
Wayang telah ada, tumbuh dan berkembang sejak lama hingga kini, melintasi perjalanan panjang sejarah Indonesia. Daya tahan dan daya kembang wayang ini telah teruji dalam menghadapi berbagai tantangan dari waktu ke waktu. Karena daya tahan dan kemampuannya mengantisipasi perkembangan zaman, maka wayang dan seni pedalangan berhasil mencapai kualitas seni yang tinggi, bahkan sering disebut seni yang "adiluhung". Dibanding dengan teater - teater boneka sejagad ini, pertunjukan wayang memang memiliki kelebihan. Sampai-sampai beberapa pakar budaya Barat yang mengagumi wayang mengatakan " …..the most complex and sophisticated theatrical form in the world".
Budaya wayang dan seni pedalangan itu memang unik dan canggih, karena dalam pergelarannya mampu memadukan dengan serasi beraneka ragam seni, seperti seni drama, seni suara, seni sastra, seni rupa dan sebagainya, dengan peran sentral seorang dalang. Dalang dengan para seniman pendukungnya yaitu, pengrawit, swarawati, dan lain-lainnya, menampilkan sajian seni yang sangat menarik. Wayang hadir dalam wujudnya yang utuh baik dalam aspek estetika, etika, maupun falsafahnya.
Dalam suatu pertunjukan wayang, yang paling mudah dicerna dan dapat ditangkap adalah keindahan seninya. Peraga tokoh-tokoh wayang dengan seni rupa yang indah, gerak wayang serasi dengan iringan gamelan, begitu pula keindahan seni suara serta seni sastra yang terus menerus mengiringi,
sesuai irama pergelaran. Lebih jauh memahami pertunjukan wayang, maka sajian seni ini ternyata menyampaikan pula berbagai pesan. Pesan etika yang mengacu pada pembentukan budi luhur atau akhlaqul karimah.
Sudah barang tentu nilai etis ini tidak terbatas tertuju pada kehidupan pribadi, melainkan menjangkau sasaran lebih luas bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semakin asyik orang menekuni pertunjukan wayang, dalam alur estetika dan etika itu, akhirnya dapat menemukan makna yang paling dalam yang terkandung dalam pertunjukan wayang, yaitu nilai-nilai hakiki yaitu falsafah hidup. Nilai falsafah merupakan isi dan kekuatan utama pertunjukan wayang. Wayang bukan lagi sekedar tontonan melainkan juga mengandung tuntunan, bahkan orang Jawa mengatakan "wewayangane ngaurip", bayangan hidup manusia dari lahir hingga mati. Wayang bukan sekedar permainan bayang-bayang atau 'shadow play' seperti anggapan banyak orang, melainkan lebih luas dan
dalam, karena wayang dapat merupakan gambaran kehidupan manusia dengan segala masalah yang dihadapinya. 
Mencermati mutu seni dan kandungan isinya, maka wayang pantas dipelajari dan dimanfaatkan bagi keperluan hidup dan kehidupan manusia. Mempelajari dan memahami pewayangan ini akan menemukan falsafah yang terkandung didalamnya. Dan dari pergelaran wayang dapat disusun suatu
ilmu tersendiri yaitu Filsafat Wayang sebagai ilmu pengetahuan lengkap dengan obyek, metode, sistem dan substansi serta aplikasinya.

Posisi
Dalam upaya menggali serta memahami filsafat wayang, perlu diketahui dimana posisi seni budaya wayang dalam kajian filsafati. Posisi ini penting agar wayang dapat didudukkan dan dikaji pada proporsi yang tepat. Posisinya dapat ditinjau dari beberapa aspek yaitu,
  1. Budaya wayang adalah hasil dari akulturasi budaya yang telah berlangsung sejak lama dan akan terus berkembang dimasa-masa mendatang. Sangat besar pengaruh budaya Jawa, Hindu dan Bali, juga mendapat pengaruh dari budaya nusantara serta budaya global. Wayang itu terbuka dalam mengantisipasi perkembangan keadaan karena pada dirinya ada kekuatan "hamot, hamong, hamemangkat" yaitu kemampuan untuk menerima pengaruh luar untuk disaring dan di olah guna memperkuat budaya wayang. Oleh karena itu budaya wayang itu dinamis dari zaman ke zaman.
  2. Dihadapkan pada pengertian filsafat, budaya wayang yaitu unsur falsafahnya dapat dimasukkan dalam pengertian filsafat sebagai pandangan hidup. Bertolak dari filsafat sebagai pandangan hidup itu dapat disusun filsafat sebagai ilmu filsafat. Ilmu filsafat bertumpu pada kemampuan rasio yaitu akal atau cipta untuk menganalisa sedalam dalamnya tentang sesuatu.
Ketika kemampuan akal manusia belum mampu mengetahui sesuatu maka lantas meloncat dengan menciptakan simbol-simbol sebagai gambaran realita yang tinggi atau high reality. Karena itu wacana filsafat wayang adalah simbol-simbol perwujudan high reality.
Dengan demikian, maka wayang adalah produk alkulturasi budaya yang didalamnya mengandung filsafat dalam pengertian pandangan hidup. Filsafat wayang diperoleh dari proses penalaran dan intuisi guna mencapai kebenaran dalam bentuk simbol-simbol
Tujuan
Dalam posisinya sebagai pandangan hidup, filsafat wayang mempunyai tujuan yang berbeda dengan filsafat barat. Filsafat barat bertujuan mencari kearifan atau wisdom, "kawicaksanan", sedangkan filsafat wayang mencari kesempurnaan atau perfection, "kasampurnan". Namun kedua tujuan itu akhirnya sampai dimuara yang sama yaitu pada kebenaran dan kenyataan. Inilah yang disebut "kasunyatan", maksudnya yang nyata dan benar.
Karena memiliki tujuan mencari kesempurnaan atau "nggayuh kasampurnan" itu, maka metoda atau cara yang ditempuh juga lebih menekankan pada perenungan. Mencapai kesempurnaan hidup ditempuh melalui upaya yang sungguh-sungguh mendekatkan diri pada Yang Maha Sempurna yaitu Tuhan Yang Maha Esa. 

Substansi & Aplikasi
Falsafah atau filsafat wayang dapat dipahami secara utuh pada Pergelaran Wayang, bukan hanya ceritera wayang, melainkan wayang yang dipergelarkan atau dipentaskan secara lengkap. Digelar secara utuh dalam kelengkapan pelaku serta peralatan, waktu dan lakon atau ceritera. Dalam
setiap pergelaran wayang akan tampil, 
  1. Wayang sebagai teater total. Setiap lakon wayang digelar dalam pentas total, utamanya ketotalan kualitatif yang dinyatakan dalam bentuk lambang-lambang. Ceritera wayang dan semua peralatannya secara efektif mengekpresikan keseluruhan hidup manusia. Penonton disuguhi hiburan yang menarik, juga diajak untuk berfikir dengan kemampuan penalaran, rasa sosial dan filosofis. Karena memang pergelaran wayang itu merupakan suatu gambaran perjalanankerohanian guna memahami hakekat hidup serta proses mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Wayang dapat disimak dalam tiga aspeknya yaitu estetika, etika dan falsafah. Estetika adalah aspek keindahan seninya yang mencakup semua unsur garap pakeliran, etika adalah kandungan moral yang disampaikan, sedangkan falsafah adalah hakekat makna dari pergelaran wayang itu.
Pergelaran wayang sebagai obyek kajian filsafat adalah simbol kehidupan manusia dijagad raya ini. Didalamnya penuh dengan hasil perenungan filsafat yang mengetengahkan pandangan hidup terhadap kebenaan dan realita. Yang mudah difahami adalah aspek estetikanya yaitu keindahan seni multidimensional yang digelar, selanjutnya dapat disimak kandungan nilai-nilai moral dalam semua aspek kehidupan, selanjutnya baru bisa mencapai kandungan falsafahnya yaitu makna dan tujuan pergelaran wayang. Falsafah inilah yang sebenarnya menumbuhkan nilai-nilai moral untuk seterusnya nilai-nilai ini menjiwai dan mewarnai estetikanya, sehingga wayang bisa menjadi sajian seni yang indah. Seni "adiluhung" maksudnya memiliki mutu seni yang tinggi serta mengandung falsafah yang berharga.
Semakin cermat dan mendalam memahami dan merenungkan makna pergelaran wayang itu, kian terungkap falsafah yang dikandungnya dan dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan hidup manusia. Manusia memahami jati dirinya, sebagai hamba Allah yang pandai bersyukur, sehingga hidupnya tenteram dan bahagia. Filsafat wayang diharapkan dapat memberi jawaban atas pandanganpandangan mendasar tentang kebenaran dan realita yang mengarah pada pencapaian kesempurnaan hidup.
Falsafah wayang yang bertujuan "ngudi kasampurnan" menampilkan pandangan antara lain terhadap hal-hal berikut ini.
1. Metafisika
Filsafat wayang itu sangat religius. Pemikiran-pemikiran religius sangat dominan, bahkan seluruh ruang lingkup filsafat ini merupakan simbol manifestasi kekuasaan Tuhan. Karena itu metafisika wayang adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Keberadaan Tuhan, manusia dan alam digambarkan dengan indah dalam setiap pergelaran wayang, utamanya pada lakon Dewa Ruci, Bima Suci, Kresno Gugah, Sastra Jendra dan Begawan Ciptoning.
Metafisika wayang merupakan hasil perenungan manusia tentang Tuhan, manusia dan alam. Kebenaran dan realita dzat-dzat tersebut dikemukakan dalam bentuk simbol-simbol pada keseluruhan pergelaran wayang. "Kasunyatan" yang terangkum dalam thema "sangkan paraning dumadi" yaitu keyakinan bahwa manusia dan alam berasal dari Tuhan dan akan kembali kepadaNya.
Tuhan adalah Dzat yang kadim, azali dan abadi, menciptakan mahkluk seisi alam ini. Mahkluk tunduk kepada Tuhan dan berusaha kembali kepada Tuhan dengan cara "nggayuh kasampurnan" karena hanya yang suci dan sempurna yang bisa kembali kepada Yang Maha Sempurna. Oleh karena itu hakekat makna pergelaran wayang adalah "sangkan paraning dumadi dan nggayuh kasampurnan". Metafisika wayang tampak pada simbol-simbol utama yaitu, 
  1. Pergelaran wayang merupakan gambaran Tuhan menciptakan manusia dan seisi alam dengan kehidupannya. Ruangan kosong tempat pentas wayang melambangkan alam semesta sebelum Tuhan menciptakan kehidupan. Kelir menggambarkan langit, pohon pisang sebagi bumi, blencong sebagai matahari, wayang melambangkan manusia dan mahkluk penghuni dunia lainnya, gamelan dan karawitan menggambarkan irama kehidupan, penonton adalah roh-roh mahkluk Tuhan yang menyaksikan pentas kehidupan manusia. Semua ciptaan Tuhan seisi alam ini hidup dan bergerak sesuai kodrat Tuhan. Tuhan adalah Dzat yang kadim, azali dan abadi.
  2. Manusia diciptakan Tuhan dengan simbol gunungan atau "kayon". Kayon menancap ditengah kelir adalah lambang hayat atau hidup, maksudnya sebelum manusia lahir, hidup itu sudah ada. Gunungan dicabut menandakan manusia itu lahir yang dilambangkan pada "jejer" atau adegan pertama, seorang raja hadir dipasewakan agung suatu negara. Perjalanan hidup manusia selanjutnya akan mengikuti alur kodrat lahir, dewasa, tua dan mati sesuai irama hidup dalam pergelaran wayang yaitu pathet 6, 9 dan pathet manyura. Akhir dari pathet manyura adalah "tanceb kayon" sebagai lambang manusia itu mati. Gunungan ditancapkan kembali ditengah kelir yang menandakan manusia mati tetapi hayat tetap ada untuk memasuki hidup setelah mati di alam akherat. Oleh karena itu ketika hidup, manusia hendaknya memahami "sangkan paraning dumadi" dan selalu berusaha "nggayuh kasampurnan" agar hidupnya selamat didunia dan akherat.
  3. Hubungan manusia dengan Tuhan berupa sikap mahkluk yang iman dan taqwa kepada Khalik. Manusia mencari jalan untuk mendekatkan diri serta kembali kepada Tuhan. Upaya manusia ini digambarkan pada aspek mistik dalam wayang, yang secara eksplisit dituangkan dalam lakon Dewa Ruci. Pada lakon ini wayang memasuki pandangan sufisme atau tasawuf. Dalam lakon Dewa Ruci hubungan Tuhan dan manusia menjadi semakin jelas dan dapat dikemukakan, Dalam pemahaman mistik ada dua pandangan mengenai asal manusia. Ada yang berpendapat bahwa Tuhan menciptakan manusia dari dzat yang berbeda dengan diriNya, sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia dari dzatNya sendiri. Pandangan ini membagi mistik dalam dua aliran yaitu Transcendental Mystic yang menyakini bahwa dzat Tuhan berbeda dengan dzat manusia dan Union Mystic yang berpendapat dzat Tuhan dan manusia itu sama. Bertolak dari keyakinan yang berbeda itu, maka tujuan manusia mendekatkan diri pada Tuhan juga menjadi tidak sama. Dalam Transcendental Mystic manusia itu bisa "dekat" dengan Tuhan, sedangkan Union Mystic bisa "menyatu" dengan Tuhan.Namun kedua faham tersebut, mempunyai kesamaan dalam cara mendekatkan diri kepada Tuhan yaitu dengan ketekunan amal ibadah untuk menjalani proses "nggayuh kasampurnan" yang pada puncaknya menggunakan mata hati manusia yaitu kalbu. Dua pandangan mistik diatas mewarnai lakon Dewa Ruci
  4. Dari pemahaman metafisika tentang Tuhan dan manusia seperti tersebut diatas, maka kehidupan manusia itu harus diarahkan untuk mencapai kualitas yang tinggi mengacu pada insan kamil. Pada realita kehidupan adalah orang-orang yang dalam ibadahnya selalu "nggayuh kasampurnan" dan dalam amalannya selalu "memayu hayuning bawana" yaitu memberikan keselamatan dan kesejahteraan dunia. Satrio Pinandito, itulah wujudnya yaitu orang yang profesional dan berbudi luhur. Konsepsi ini dengan indahnya digambarkan dalam lakon Begawan Ciptoning.
2. Epistemologi
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang membicarakan apa dan bagaimana pengetahuan itu. Dalam pergelaran wayang banyak mengandung simbol-simbol yang perlu ditafsirkan. Bagaimana kita memahami simbol-simbol dalam pergelaran wayang? Epistemologi dalam pergelaran wayang terdapat dua sisi: Pertama, dari sisi pengamat atau penonton. Moralitas dan pemahaman agama yang dangkal akan mengakibatkan pengertian yang dangkal. Sedangkan, penonton dengan moralitas dan pemahaman agama yang tinggi akan mendapat pemahaman yang mendalam. Pemahaman ini mengandung persoalan, yaitu bahwa setiap pengamat akan mendapatkan pegertian yang berbeda-beda dalam melihat simbol pergelaran wayang.
Namun, yang terpenting adalah bagaimana pemahaman kita terhadap wayang dapat dibersihkan dari unsur-unsur yang yang tidak rasional. Kedua, dari sisi pergelaran wayang sendiri mengandung contoh-contoh mengenai pemahaman, baik terhadap alam, manusia dan Tuhan. Utamanya, di dalam cerita sangat kaya sekali menggambarkan adanya contoh-contoh tentang pemahaman. Dalam cerita Kresna Duta misalnya memperlihatkan bahwa kurawa salah dalam memahami siapakah Sri Kresna. Dipandangnya hanya sebagai manusia yang biasa tetapi dibalik itu sesungguhnya ia adalah titisan Dewa Wisnu yang mempunyai kekuatan yang sangat dahsyat. Para raksasa misalnya selalu salah dalam melihat seorang ksatria yang bertubuh ramping sehingga seringkali meremehkannya. Namun, para ksatria yang dipandangnya rendah dapat mengalahkannya. Dalam beberapa contoh tersebut ada pesan yang bisa ditangkap, yaitu bahwa dalam melihat sesuatu itu jangan bersifat dangkal. Di dalam cerita Dewa Ruci juga mengandung makna epistemologis, yaitu usaha untuk mengetahui dirinya sendiri, sehingga pemahaman pada diri sendiri ini akan membawa Bima pada pengenalan akan Tuhannya 
3. Aksiologi
Aksiologi adalah filsafat nilai. Dalam wayang nilai-nilai ini sangat dominan, karena memang misinya adalah menyampaikan pesan moral. Menurut penelitian DR. Hazim Amir di dalam wayang ada dua puluh nilai dasar yang kesemuanya itu merupakan atribut untuk mencapai kesempurnaan hidup, mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan beramal saleh kepada sesamanya. Aksiologi wayang dikembangkan dalam dua unsur pokoknya yaitu etika dan estetika.
4. Aplikasi
Berdasarkan pada pandangan metafisika dan aksiologi tersebut diatas filsafat wayang berusaha memberikan jawaban-jawaban etis terhadap berbagai aspek kehidupan manusia dalam kehidupan pribadi, berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
  1. Dalam kehidupan pribadi, filsafat wayang memberikan jawaban berupa etika budi pekerti. Budi pekeri yang tidak sekedar normatif melainkan aplikatif karena disampaikan melalui contoh-contoh dalam pergelaran wayang sehingga tidak indoktrinatif melainkan edukatif.
  2. Dalam kehidupan bermasyarakat, filsafat wayang mengajukan gagasannya mengenai negara yang ideal, pemimpin yang bijaksana, kehidupan masyarakat yang sejahtera dan sebagainya. Gagasan tersebut antara lain terungkap pada narasi "jejer" pertama dipasewakan agung suatu negara.Dalam setiap lakon wayang yang dipentaskan, pandangan dan jawaban filsafati kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara itu selalu dikemukakan dengan jelas yang sebenarnya mudah diserap oleh para pemirsanya.
Disadari sepenuhnya filsafat wayang itu masih harus dikaji sedalam-dalamnya baik sebagai pandangan hidup maupun filsafat wayang sebagai ilmu pengetahuan. Keberhasilan menyusun Filsafat Wayang sebagai ilmu filsafat akan memperkokoh kedudukan dan manfaat wayang bagi kehidupan manusia.
(senawangi)

0 komentar:

Posting Komentar