Sabtu, 23 Oktober 2010 | By: Kang Jarrod

FILSAFAT WAYANG

Latar Belakang
Kebudayaan tidak berakar dari dorongan seks semata, seperti dikatakan oleh Sigmund Frued. Kebudayaan Indonesia menunjukkan dorongan yang lebih manusiawi. Dengan meneliti jejak wujud kebudayaan Indonesia menampakkan pola kearah dorongan spiritual. Wayang sebagai salah satu hasil kebudayaan asli Indonesia menunjukkan pola spiritual itu. 
Wayang merupakan hasil, cipta rasa dan karsa manusia Indonesia oleh proses daya spiritual. Pengamatan yang mendalam terhadap wayang menunjukkan bahwa wayang bukan seni yang bertujuan untuk kepuasan biologis tetapi memberikan kepuasaan batiniah. Nonton pergelaran wayang
merupakan proses introspeksi intuitif terhadap simbol-simbol kehidupan disertai pembersihan intelektual dan penyucian moral sehingga mendapatkan pencerahan rohani.
Pergelaran wayang mamakai logika dongeng tetapi logika itu atas dasar nilai-nilai realitas seharĂ­-hari. Wayang merupakan cermin kehidupan manusia secara kongkrit. Oleh karena itu, filsafat wayang berakar pada realitas nilai-nilai kehidupan di masyarakat Indonesia. Visi dan intuisi dari kenyataan hidup dan kehidupan masyarakat Indonesia dituangkan dalam wayang dengan memakai banyak simbol yang menyimpan filsafat tersembunyi. Simbol tersebut merupakan tempat istirahat yang menyimpan pemikiran khas Indonesia. Simbol-simbol itu perlu ditafsir kembali. Interpretasi terhadap simbol-simbol dalam wayang perlu diusahakan secara obyektif untuk membedah gagasan dan pemikiran khas
Indonesia; selanjutnya menyusunnya ke dalam sistematika filsafat wayang secara komprehensif (genah dan ganep).
Wayang telah ada, tumbuh dan berkembang sejak lama hingga kini, melintasi perjalanan panjang sejarah Indonesia. Daya tahan dan daya kembang wayang ini telah teruji dalam menghadapi berbagai tantangan dari waktu ke waktu. Karena daya tahan dan kemampuannya mengantisipasi perkembangan zaman, maka wayang dan seni pedalangan berhasil mencapai kualitas seni yang tinggi, bahkan sering disebut seni yang "adiluhung". Dibanding dengan teater - teater boneka sejagad ini, pertunjukan wayang memang memiliki kelebihan. Sampai-sampai beberapa pakar budaya Barat yang mengagumi wayang mengatakan " …..the most complex and sophisticated theatrical form in the world".
Budaya wayang dan seni pedalangan itu memang unik dan canggih, karena dalam pergelarannya mampu memadukan dengan serasi beraneka ragam seni, seperti seni drama, seni suara, seni sastra, seni rupa dan sebagainya, dengan peran sentral seorang dalang. Dalang dengan para seniman pendukungnya yaitu, pengrawit, swarawati, dan lain-lainnya, menampilkan sajian seni yang sangat menarik. Wayang hadir dalam wujudnya yang utuh baik dalam aspek estetika, etika, maupun falsafahnya.
Dalam suatu pertunjukan wayang, yang paling mudah dicerna dan dapat ditangkap adalah keindahan seninya. Peraga tokoh-tokoh wayang dengan seni rupa yang indah, gerak wayang serasi dengan iringan gamelan, begitu pula keindahan seni suara serta seni sastra yang terus menerus mengiringi,
sesuai irama pergelaran. Lebih jauh memahami pertunjukan wayang, maka sajian seni ini ternyata menyampaikan pula berbagai pesan. Pesan etika yang mengacu pada pembentukan budi luhur atau akhlaqul karimah.
Sudah barang tentu nilai etis ini tidak terbatas tertuju pada kehidupan pribadi, melainkan menjangkau sasaran lebih luas bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semakin asyik orang menekuni pertunjukan wayang, dalam alur estetika dan etika itu, akhirnya dapat menemukan makna yang paling dalam yang terkandung dalam pertunjukan wayang, yaitu nilai-nilai hakiki yaitu falsafah hidup. Nilai falsafah merupakan isi dan kekuatan utama pertunjukan wayang. Wayang bukan lagi sekedar tontonan melainkan juga mengandung tuntunan, bahkan orang Jawa mengatakan "wewayangane ngaurip", bayangan hidup manusia dari lahir hingga mati. Wayang bukan sekedar permainan bayang-bayang atau 'shadow play' seperti anggapan banyak orang, melainkan lebih luas dan
dalam, karena wayang dapat merupakan gambaran kehidupan manusia dengan segala masalah yang dihadapinya. 
Mencermati mutu seni dan kandungan isinya, maka wayang pantas dipelajari dan dimanfaatkan bagi keperluan hidup dan kehidupan manusia. Mempelajari dan memahami pewayangan ini akan menemukan falsafah yang terkandung didalamnya. Dan dari pergelaran wayang dapat disusun suatu
ilmu tersendiri yaitu Filsafat Wayang sebagai ilmu pengetahuan lengkap dengan obyek, metode, sistem dan substansi serta aplikasinya.

Posisi
Dalam upaya menggali serta memahami filsafat wayang, perlu diketahui dimana posisi seni budaya wayang dalam kajian filsafati. Posisi ini penting agar wayang dapat didudukkan dan dikaji pada proporsi yang tepat. Posisinya dapat ditinjau dari beberapa aspek yaitu,
  1. Budaya wayang adalah hasil dari akulturasi budaya yang telah berlangsung sejak lama dan akan terus berkembang dimasa-masa mendatang. Sangat besar pengaruh budaya Jawa, Hindu dan Bali, juga mendapat pengaruh dari budaya nusantara serta budaya global. Wayang itu terbuka dalam mengantisipasi perkembangan keadaan karena pada dirinya ada kekuatan "hamot, hamong, hamemangkat" yaitu kemampuan untuk menerima pengaruh luar untuk disaring dan di olah guna memperkuat budaya wayang. Oleh karena itu budaya wayang itu dinamis dari zaman ke zaman.
  2. Dihadapkan pada pengertian filsafat, budaya wayang yaitu unsur falsafahnya dapat dimasukkan dalam pengertian filsafat sebagai pandangan hidup. Bertolak dari filsafat sebagai pandangan hidup itu dapat disusun filsafat sebagai ilmu filsafat. Ilmu filsafat bertumpu pada kemampuan rasio yaitu akal atau cipta untuk menganalisa sedalam dalamnya tentang sesuatu.
Ketika kemampuan akal manusia belum mampu mengetahui sesuatu maka lantas meloncat dengan menciptakan simbol-simbol sebagai gambaran realita yang tinggi atau high reality. Karena itu wacana filsafat wayang adalah simbol-simbol perwujudan high reality.
Dengan demikian, maka wayang adalah produk alkulturasi budaya yang didalamnya mengandung filsafat dalam pengertian pandangan hidup. Filsafat wayang diperoleh dari proses penalaran dan intuisi guna mencapai kebenaran dalam bentuk simbol-simbol
Tujuan
Dalam posisinya sebagai pandangan hidup, filsafat wayang mempunyai tujuan yang berbeda dengan filsafat barat. Filsafat barat bertujuan mencari kearifan atau wisdom, "kawicaksanan", sedangkan filsafat wayang mencari kesempurnaan atau perfection, "kasampurnan". Namun kedua tujuan itu akhirnya sampai dimuara yang sama yaitu pada kebenaran dan kenyataan. Inilah yang disebut "kasunyatan", maksudnya yang nyata dan benar.
Karena memiliki tujuan mencari kesempurnaan atau "nggayuh kasampurnan" itu, maka metoda atau cara yang ditempuh juga lebih menekankan pada perenungan. Mencapai kesempurnaan hidup ditempuh melalui upaya yang sungguh-sungguh mendekatkan diri pada Yang Maha Sempurna yaitu Tuhan Yang Maha Esa. 

Substansi & Aplikasi
Falsafah atau filsafat wayang dapat dipahami secara utuh pada Pergelaran Wayang, bukan hanya ceritera wayang, melainkan wayang yang dipergelarkan atau dipentaskan secara lengkap. Digelar secara utuh dalam kelengkapan pelaku serta peralatan, waktu dan lakon atau ceritera. Dalam
setiap pergelaran wayang akan tampil, 
  1. Wayang sebagai teater total. Setiap lakon wayang digelar dalam pentas total, utamanya ketotalan kualitatif yang dinyatakan dalam bentuk lambang-lambang. Ceritera wayang dan semua peralatannya secara efektif mengekpresikan keseluruhan hidup manusia. Penonton disuguhi hiburan yang menarik, juga diajak untuk berfikir dengan kemampuan penalaran, rasa sosial dan filosofis. Karena memang pergelaran wayang itu merupakan suatu gambaran perjalanankerohanian guna memahami hakekat hidup serta proses mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Wayang dapat disimak dalam tiga aspeknya yaitu estetika, etika dan falsafah. Estetika adalah aspek keindahan seninya yang mencakup semua unsur garap pakeliran, etika adalah kandungan moral yang disampaikan, sedangkan falsafah adalah hakekat makna dari pergelaran wayang itu.
Pergelaran wayang sebagai obyek kajian filsafat adalah simbol kehidupan manusia dijagad raya ini. Didalamnya penuh dengan hasil perenungan filsafat yang mengetengahkan pandangan hidup terhadap kebenaan dan realita. Yang mudah difahami adalah aspek estetikanya yaitu keindahan seni multidimensional yang digelar, selanjutnya dapat disimak kandungan nilai-nilai moral dalam semua aspek kehidupan, selanjutnya baru bisa mencapai kandungan falsafahnya yaitu makna dan tujuan pergelaran wayang. Falsafah inilah yang sebenarnya menumbuhkan nilai-nilai moral untuk seterusnya nilai-nilai ini menjiwai dan mewarnai estetikanya, sehingga wayang bisa menjadi sajian seni yang indah. Seni "adiluhung" maksudnya memiliki mutu seni yang tinggi serta mengandung falsafah yang berharga.
Semakin cermat dan mendalam memahami dan merenungkan makna pergelaran wayang itu, kian terungkap falsafah yang dikandungnya dan dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan hidup manusia. Manusia memahami jati dirinya, sebagai hamba Allah yang pandai bersyukur, sehingga hidupnya tenteram dan bahagia. Filsafat wayang diharapkan dapat memberi jawaban atas pandanganpandangan mendasar tentang kebenaran dan realita yang mengarah pada pencapaian kesempurnaan hidup.
Falsafah wayang yang bertujuan "ngudi kasampurnan" menampilkan pandangan antara lain terhadap hal-hal berikut ini.
1. Metafisika
Filsafat wayang itu sangat religius. Pemikiran-pemikiran religius sangat dominan, bahkan seluruh ruang lingkup filsafat ini merupakan simbol manifestasi kekuasaan Tuhan. Karena itu metafisika wayang adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Keberadaan Tuhan, manusia dan alam digambarkan dengan indah dalam setiap pergelaran wayang, utamanya pada lakon Dewa Ruci, Bima Suci, Kresno Gugah, Sastra Jendra dan Begawan Ciptoning.
Metafisika wayang merupakan hasil perenungan manusia tentang Tuhan, manusia dan alam. Kebenaran dan realita dzat-dzat tersebut dikemukakan dalam bentuk simbol-simbol pada keseluruhan pergelaran wayang. "Kasunyatan" yang terangkum dalam thema "sangkan paraning dumadi" yaitu keyakinan bahwa manusia dan alam berasal dari Tuhan dan akan kembali kepadaNya.
Tuhan adalah Dzat yang kadim, azali dan abadi, menciptakan mahkluk seisi alam ini. Mahkluk tunduk kepada Tuhan dan berusaha kembali kepada Tuhan dengan cara "nggayuh kasampurnan" karena hanya yang suci dan sempurna yang bisa kembali kepada Yang Maha Sempurna. Oleh karena itu hakekat makna pergelaran wayang adalah "sangkan paraning dumadi dan nggayuh kasampurnan". Metafisika wayang tampak pada simbol-simbol utama yaitu, 
  1. Pergelaran wayang merupakan gambaran Tuhan menciptakan manusia dan seisi alam dengan kehidupannya. Ruangan kosong tempat pentas wayang melambangkan alam semesta sebelum Tuhan menciptakan kehidupan. Kelir menggambarkan langit, pohon pisang sebagi bumi, blencong sebagai matahari, wayang melambangkan manusia dan mahkluk penghuni dunia lainnya, gamelan dan karawitan menggambarkan irama kehidupan, penonton adalah roh-roh mahkluk Tuhan yang menyaksikan pentas kehidupan manusia. Semua ciptaan Tuhan seisi alam ini hidup dan bergerak sesuai kodrat Tuhan. Tuhan adalah Dzat yang kadim, azali dan abadi.
  2. Manusia diciptakan Tuhan dengan simbol gunungan atau "kayon". Kayon menancap ditengah kelir adalah lambang hayat atau hidup, maksudnya sebelum manusia lahir, hidup itu sudah ada. Gunungan dicabut menandakan manusia itu lahir yang dilambangkan pada "jejer" atau adegan pertama, seorang raja hadir dipasewakan agung suatu negara. Perjalanan hidup manusia selanjutnya akan mengikuti alur kodrat lahir, dewasa, tua dan mati sesuai irama hidup dalam pergelaran wayang yaitu pathet 6, 9 dan pathet manyura. Akhir dari pathet manyura adalah "tanceb kayon" sebagai lambang manusia itu mati. Gunungan ditancapkan kembali ditengah kelir yang menandakan manusia mati tetapi hayat tetap ada untuk memasuki hidup setelah mati di alam akherat. Oleh karena itu ketika hidup, manusia hendaknya memahami "sangkan paraning dumadi" dan selalu berusaha "nggayuh kasampurnan" agar hidupnya selamat didunia dan akherat.
  3. Hubungan manusia dengan Tuhan berupa sikap mahkluk yang iman dan taqwa kepada Khalik. Manusia mencari jalan untuk mendekatkan diri serta kembali kepada Tuhan. Upaya manusia ini digambarkan pada aspek mistik dalam wayang, yang secara eksplisit dituangkan dalam lakon Dewa Ruci. Pada lakon ini wayang memasuki pandangan sufisme atau tasawuf. Dalam lakon Dewa Ruci hubungan Tuhan dan manusia menjadi semakin jelas dan dapat dikemukakan, Dalam pemahaman mistik ada dua pandangan mengenai asal manusia. Ada yang berpendapat bahwa Tuhan menciptakan manusia dari dzat yang berbeda dengan diriNya, sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia dari dzatNya sendiri. Pandangan ini membagi mistik dalam dua aliran yaitu Transcendental Mystic yang menyakini bahwa dzat Tuhan berbeda dengan dzat manusia dan Union Mystic yang berpendapat dzat Tuhan dan manusia itu sama. Bertolak dari keyakinan yang berbeda itu, maka tujuan manusia mendekatkan diri pada Tuhan juga menjadi tidak sama. Dalam Transcendental Mystic manusia itu bisa "dekat" dengan Tuhan, sedangkan Union Mystic bisa "menyatu" dengan Tuhan.Namun kedua faham tersebut, mempunyai kesamaan dalam cara mendekatkan diri kepada Tuhan yaitu dengan ketekunan amal ibadah untuk menjalani proses "nggayuh kasampurnan" yang pada puncaknya menggunakan mata hati manusia yaitu kalbu. Dua pandangan mistik diatas mewarnai lakon Dewa Ruci
  4. Dari pemahaman metafisika tentang Tuhan dan manusia seperti tersebut diatas, maka kehidupan manusia itu harus diarahkan untuk mencapai kualitas yang tinggi mengacu pada insan kamil. Pada realita kehidupan adalah orang-orang yang dalam ibadahnya selalu "nggayuh kasampurnan" dan dalam amalannya selalu "memayu hayuning bawana" yaitu memberikan keselamatan dan kesejahteraan dunia. Satrio Pinandito, itulah wujudnya yaitu orang yang profesional dan berbudi luhur. Konsepsi ini dengan indahnya digambarkan dalam lakon Begawan Ciptoning.
2. Epistemologi
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang membicarakan apa dan bagaimana pengetahuan itu. Dalam pergelaran wayang banyak mengandung simbol-simbol yang perlu ditafsirkan. Bagaimana kita memahami simbol-simbol dalam pergelaran wayang? Epistemologi dalam pergelaran wayang terdapat dua sisi: Pertama, dari sisi pengamat atau penonton. Moralitas dan pemahaman agama yang dangkal akan mengakibatkan pengertian yang dangkal. Sedangkan, penonton dengan moralitas dan pemahaman agama yang tinggi akan mendapat pemahaman yang mendalam. Pemahaman ini mengandung persoalan, yaitu bahwa setiap pengamat akan mendapatkan pegertian yang berbeda-beda dalam melihat simbol pergelaran wayang.
Namun, yang terpenting adalah bagaimana pemahaman kita terhadap wayang dapat dibersihkan dari unsur-unsur yang yang tidak rasional. Kedua, dari sisi pergelaran wayang sendiri mengandung contoh-contoh mengenai pemahaman, baik terhadap alam, manusia dan Tuhan. Utamanya, di dalam cerita sangat kaya sekali menggambarkan adanya contoh-contoh tentang pemahaman. Dalam cerita Kresna Duta misalnya memperlihatkan bahwa kurawa salah dalam memahami siapakah Sri Kresna. Dipandangnya hanya sebagai manusia yang biasa tetapi dibalik itu sesungguhnya ia adalah titisan Dewa Wisnu yang mempunyai kekuatan yang sangat dahsyat. Para raksasa misalnya selalu salah dalam melihat seorang ksatria yang bertubuh ramping sehingga seringkali meremehkannya. Namun, para ksatria yang dipandangnya rendah dapat mengalahkannya. Dalam beberapa contoh tersebut ada pesan yang bisa ditangkap, yaitu bahwa dalam melihat sesuatu itu jangan bersifat dangkal. Di dalam cerita Dewa Ruci juga mengandung makna epistemologis, yaitu usaha untuk mengetahui dirinya sendiri, sehingga pemahaman pada diri sendiri ini akan membawa Bima pada pengenalan akan Tuhannya 
3. Aksiologi
Aksiologi adalah filsafat nilai. Dalam wayang nilai-nilai ini sangat dominan, karena memang misinya adalah menyampaikan pesan moral. Menurut penelitian DR. Hazim Amir di dalam wayang ada dua puluh nilai dasar yang kesemuanya itu merupakan atribut untuk mencapai kesempurnaan hidup, mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan beramal saleh kepada sesamanya. Aksiologi wayang dikembangkan dalam dua unsur pokoknya yaitu etika dan estetika.
4. Aplikasi
Berdasarkan pada pandangan metafisika dan aksiologi tersebut diatas filsafat wayang berusaha memberikan jawaban-jawaban etis terhadap berbagai aspek kehidupan manusia dalam kehidupan pribadi, berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
  1. Dalam kehidupan pribadi, filsafat wayang memberikan jawaban berupa etika budi pekerti. Budi pekeri yang tidak sekedar normatif melainkan aplikatif karena disampaikan melalui contoh-contoh dalam pergelaran wayang sehingga tidak indoktrinatif melainkan edukatif.
  2. Dalam kehidupan bermasyarakat, filsafat wayang mengajukan gagasannya mengenai negara yang ideal, pemimpin yang bijaksana, kehidupan masyarakat yang sejahtera dan sebagainya. Gagasan tersebut antara lain terungkap pada narasi "jejer" pertama dipasewakan agung suatu negara.Dalam setiap lakon wayang yang dipentaskan, pandangan dan jawaban filsafati kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara itu selalu dikemukakan dengan jelas yang sebenarnya mudah diserap oleh para pemirsanya.
Disadari sepenuhnya filsafat wayang itu masih harus dikaji sedalam-dalamnya baik sebagai pandangan hidup maupun filsafat wayang sebagai ilmu pengetahuan. Keberhasilan menyusun Filsafat Wayang sebagai ilmu filsafat akan memperkokoh kedudukan dan manfaat wayang bagi kehidupan manusia.
(senawangi)
Kamis, 21 Oktober 2010 | By: Kang Jarrod

TUJUH KEBENARAN ISLAM YANG MUTLAK


ALLAHU AKBAR

1. Qur'an dengan bahasanya yang tetap sepanjang masa dan sama dimana-mana telah sanggup menciptakan iklim keIslaman yang merata mutlak. Ia akan dimengerti di Amerika, demikian juga di Inggris. Bila ia dibacakan di Jepang, maka ia juga dipahami oleh orang-orang India dan Pakistan, dan bila ia dibaca di negeri Belanda, maka Mesir, Libya, Indonesia akan mengerti, setidak-tidaknya mengenali bahwa itulah ayat-ayat Al Qur'an. Qur'an tidak pernah dirubah bahasanya dan ini saja sudah dapat dijadikan pegangan, bahwa isinya authentik asli. Beda dengan Injil yang telah melalui sedemikian banyak terjemahan, sehingga keaslian kata-kata mungkin telah menyimpang dari maksud semula. Ia disalin dari bahasa Ibrani ke bahasa Gerika, lalu ke bahasa Latin, dari Latin oleh Marthen Luther pada tahun 1521 disalin ke bahasa Jerman. Dari Jerman disalin pula ke dalam bahasa Inggris, Belanda, Indonesia, Jawa, Minang, Timor dst. Sambil menyalin, maka atas pertimbangan politik(?) sipenyalin menterjemahkannya pula menurut "situasi dan kondisi" setempat. Kita lihat misalnya, kalau didalam Injil bahasa Belanda dan Inggris syarat masuk surga adalah Door bidden en fasten atau by praying and fasting, maka didalam Injil bahasa Indonesia mereka mencukupkan hanya dengan doa, sedangkan fasting atau fasten atau puasanya dihilangkan.

2. Al-Qur'an tidak bertentangan dengan Ilmu pengetahuan. Bacalah theorie LaPlace & Chamberlin, bacalah theorie kejadian bumi, maka Chamberlin menyebutkan: Bahwa bumi kita ini ialah terjadi dari gumpalan-gumpalan kabut yang bergulung-gulung semakin lama semakin padat, sehingga berpijar, dan kemudian mati pijarnya, lalu tumbuhlah kehidupan. Lalu cobalah kita buka Al-Qur'an surat tertulislah disana theorie itu: "Dan ingatlah ketika Aku menciptakan bumi ini dari suatu hamparan yang lalu bergulung-gulung." Qur'an surat Nuh 14 menulis tentang adanya tingkatan-tingkatan kejadian dari manusia, surat Al An'am 97 memuat theorie Astronomi. Dalam surat-surat yang lain dimuat pula theorie perkawinan tanam-tanaman (botani). Qur'an tidak serupa dengan Perjanjian Lama yang menolak theorie Galileo Galilei, Islam tidak seperti Kristen yang telah begitu banyaknya membunuhi kaum cerdik pandai seperti Galileo Galilei, Johannis Heuss dan sebagainya

3. Al-Qur'an tidak menentang fitrah manusia. Itulah sebabnya didalam Islam tidak diakuinya hukum Calibat atau pembujangan.Manusia dibuat laki-laki dan perempuan adalah untuk kawin, untuk mengembangkan keturunan. Maka itu ajaran Paulus yang mengatakan bahwa ada "lebih baik" laki-laki itu membujang seperti aku dan perempuan itu tidak kawin, ditentang oleh Islam. Bukankah monogami akhirnya melibatkan dunia Kristen dalam lembah pelacuran? Bukankah orang-orang Italia yang monogami itu akhirnya mempunyai juga istri-istri yang gelap? Dan bukankah Amerika, Swedia dll. akhirnya menjadi bejat akhlaknya sebab mempertahankan monogami? Maka dunia akhirnya menetapkan: Poligami adalah bijaksana dengan adanya term and condition tertentu. Poligami mencegah manusia daripada zinah dan pelacuran. Tidak heran bila surat An Nisa ayat
3 kemudian membolehkan orang untuk Poligami, yaitu poligami yang terbatas: 4.

4. Qur'an udak bertentangan dengan aqal dan fikiran manusia. Itulah sebabnya Islam sangat menghargai akal dan fikiran yang sehat. Kaidah Islam tidak dapat menerima doktrin "Tiga tetapi satu," sebab tiga tetapi satu bertentangan dengan ratio. Ummat Islam sama sekali tidak dapat memahami bagaimana Paus, seorang manusia, dapat menjabat Wakil Tuhan(Ficarius Filii Dei). Paus mewakili urusan Allah untuk dunia ini, memberikan amnesti, abolisi dan grasi atas ummat manusia yang berdosa dengan mandaat sepenuhnya dari Allah. Demikian pula, kalau kami yang tidak tahu menahu akan perbuatan Adam harus memikul dosa Adam. Dan akal lebih tidak bisa menerima lagi, kalau Allah yang pengasih penyayang itu akhirnya lalu menghukum mati anaknya sendiri demi menebus dosa Adam dan anak cucu Adam. Maka itulah Islam tidak mengakui dosa keturunan, juga tidak mengakui adanya "Sakramen pengakuan dosa" yang memanjakan manusia dan mengajar manusia untuk tidak bertanggung jawab itu.

5. Islam tidak bertentangan dengan sejarah. Islampun dengan sendirinya tidak mendustai sejarah. Putih hitamnya sejarah Islam, diakuinya dengan jujur.Ia, misalkan mengalami tragedi pahit seperti "Night of St. Bartolomeus" pastilah ia mengakui, dan ummatnya mengetahui. Islam selalu sesuai dengan situasi d.an kondisi, ia bukannya menyesuaikan diri, tetapi diri (dunia maksudnya) yang harus menyesuaikan dengannya.

6. Oleh sebab itulah maka Islam tetap bertahan. Ia selalu maju seirama dengan kemajuannya zaman. Empat belas abad sudah lamanya Islam tetap dalam suatu kesatuan syareat dan hakekat. Seribu empat ratus tahun lamanya hukum-hukumnya, undang-undangnya, shalat dan kiblatnya, puasa dan hajinya tetap berjalan. Ia tidak ambruk setelah ilmu pengetahuan lebih maju, ia juga tidak colaps menghadapi kebangkitan humanisme dan sosialisme. Adapun atau kalaupun dikatakan mundur, sebenarnya ialah ummat artinya orang-orangnya apakah itu person atau kelompok. Mengapakah ummatnya mundur? Sebab ia telah meninggalkan Qur'annya. Ia berbeda dengan ajaran atau hukum gereja Katolik yang selalu berubah-ubah boleh - tidak boleh dan sekarang boleh lagi kawin. Padahal soal kawin adalah soal keputusan Tuhan. Adalah keputusan Tuhan selalu berubah-ubah dan dapat ditentang oleh manusia?

7. Qur'an tak dapat disangkal ]agi, adalah pegangan hidup dan mati, dunia dan akhirat. Qur'an ternyata merupakan landasan idiil dan spirituil, landasan hidup di dunia dan di akhirat. Qur'an, tidak hanya memuat perkara akhirat saja, tetapi juga perkara dunia. Itulah sebabnya bila kita membaca Al-Qur'an kita akan menemui bermacam-macam hukum, apakah itu hukum pidana, perdata, atau hukum antar manusia dan kemasyarakatan. Demikian pula ia memuat hukum dengan lengkapnya hukum perkawinan dan sopan santun perang.
Selasa, 19 Oktober 2010 | By: Kang Jarrod

JANENGAN, BUDAYA YANG HAMPIR TERLUPAKAN


Janeng adalah sebuah kesenian tradisional yang berupa nyanyian sholawat dan diiringi dengan musik tradisional. Alat musik yang digunakan berupa terbang (rebana dengan ukuran diameter 50-100 cm), kendang, calung (terbuat dari bambu dengan suara yang mirip angklung) dan alat music trdisional lainnya. Sholawat yang dilantunkan berupa puji-pujian kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW, ada yang berbahasa Arab dan tak jarang pula menggunakan bahasa jawa. Ciri khas dari dari Janengan, Sholawat dilantunkan dengan suara “Ngelik” (suara tinggi).
Biasanya pegelaran Janengan dibawakan dalam waktu semalam suntuk (dari pukul 10 malam sampai pukul 3 dini hari). Biasanya para pemain Janengan memakan jahe, kencur, bawang merah dan gula jawa agar tetap kuat mengeluarkan suara “Ngelik” sepanjang malam.
Janengan adalah kebudayaan asli dari Penginyongan (Gagrak Banyumas/ngapak).
Kesenian ini semakin lama keberadaannya semakin memprihatinkan karena pengaruh banyaknya jenis musik modern yang beredar saat ini. Akan tetapi sebenarnya janeng betul - betul tidak kalah menariknya dengan musik pop, rock ataupun jenis musik modern lainnya. Maka dari itulah saya mencoba untuk mengajak anda semua untuk ikut mendukung kelestarian janeng.

ETIKA DAN SIMBOLIK DIBALIK WAYANG KULIT


Wayang Kulit - Mitos atau Realitas?
Tulisan Etika dan Simbolik Dibalik Wayang Kulit sebetulnya sudah selesai pada tulisan ke 10. Pada sesi 11 ini rencananya hanya akan berisi Daftar Pustaka yang mendasari tulisan saya. Tapi karena saya membaca buku “Atlantis The Lost Continent Finally Found” karangan Prof. Arysio Santos (Geolog & Fisikawan Nuklir Brazil), saya ingin mengupas sedikit tentang mitos dan realitas dari keberadaan wayang kulit di Indonesia sehubungan dengan pendapat bahwa benua Atlantis adalah Indonesia. Disamping tentunya juga Daftar Pustaka yang mendasari keseluruhan tulisan perihal wayang kulit ini.

Dalam bukunya Prof. Arysio Santos meyakini bahwa Atlantis yang hilang adalah Indonesia pada saat sebelum jaman es, ketika pulau-pulau di Indonesia masih bersatu dengan Asia yang merupakan pusat peradaban manusia (note: lihat peta). Dengan teori geologi yang dibuktikan dengan pengamatan satelit, suatu peradaban yang maju yang mungkin terjadi pada masa sebelum jaman es hanya bisa terjadi di daerah tropis. Sedangkan pada masa itu daerah subtropis seperti Eropa masih ditutupi es, tidak memungkinkan suatu kehidupan apalagi suatu peradaban yang maju. Dari segi logika masuk akal, tentu saja teorinya masih harus mendapatkan dukungan bukti-bukti arkeologi yang lebih nyata.
Note:
1). Atlantis sendiri adalah cerita dari Plato (427SM – 347SM) tentang keberadaan benua Atlantis yang sudah punya peradaban tinggi yang tengelam didasar laut, kemudian para pahlawan berhati luhur yang selamat menyebar membawa peradaban keseluruh dunia.
2) Benua Amerika adalah “invisible” bagi peradaban kuno yang berada di Asia maupun Eropa, sampai ditemukan oleh Christopher Columbus pada tahun 1492. Oleh karena itu Samudra Atlantik oleh peradaban kuno termasuk didalamnya Samudra Pacific. Samudra Pacific baru ada setelah ditemukan Benua Amerika.

Yang menarik buat saya didalam bukunya, Prof. Arysio Santos becerita banyak tentang sumber cerita pewayangan yaitu Ramayana, Mahabharata, dan Pustaka Raja Purwa. Tiga sumber utama cerita pewayangan di Jawa. Bahkan menterjemahkan kerajaan Alengkadireja di Ramayana terletak di Sumatera sebelum gunung Toba meletus bukan Sri Langka yang sering disebut oleh sumber di India.
Note:
a. Pustaka Raja Purwa karangan R. Ng. Ronggowarsito (1802 – 1873) adalah serat pedalangan versi Solo, sedangkan versi Jogja adalah Serat Purwakhanda karangan Sri Sultan Hamengkubuwana V (1822 – 1855), sedangkan versi Mangkunegaran adalah Serat Pedhalangan Ringgit Purwa hasil karya KGPAA Mangkunegara VII (1916 – 1944).
b. Para dalang di Jawa lebih melihat buku Pustaka Raja Purwa, Purwakhanda, atau Pedhalangan Ringgit Purwa sebagai sumber cerita wayang, dibandingkan dengan buku Ramayana atau Mahabharata.

Hal ini yang menimbulkan suatu spekulasi bagi saya bahwa ada kemungkinan memang ada kaitannya antara Pustaka Raja Purwa dengan Ramayana dan Mahabharata. Bukan dalam pengertian saat ini yang umum berlaku, yaitu Pustaka Raja Purwa adalah cerita yang dikembangkan dari cerita Ramayana dan Mahabharata. Tapi malahan sebaliknya, sumber ceritanya telah berkembang di Jawa secara turun temurun dalam bentuk pementasan wayang kulit, kemudian dibukukan menjadi Pustaka Raja Purwa, Purwakanda dan Pedalangan Ringgit Purwa. Sama sekali proses yang berbeda dengan keberadaan Ramayana dan Mahabharata yang berasal dari India walaupun menceritakan hal yang sama.

Kalau kita mengamati cerita wayang di Pustaka Raja Purwa / Purwakanda / Pedhalangan Ringgit Purwa adalah sangat detil, jauh lebih detil dari cerita Ramayana dan Mahabharata. Kalau kita mengacu pada teori Prof. Arysio Santos bahwa pusat peradaban berasal dari Indonesia, justru orang-orang India yang berasal dari Indonesia yang selamat dari akibat tsunami dikarenakan meletusnya gunung Krakatau yang mengakhirinya jaman es, mengembangkan peradaban di India, kemudian menulis cerita pra-tsunami dalam dua episode cerita yaitu buku Ramayana dan Mahabharata, oleh karena itu lebih ringkas dibandingkan dengan sumber cerita yang sama di Jawa. Sudah barang tentu cerita ataupun legenda akan lebih detil apabila lebih dekat dengan sumbernya.

Karena pusat peradaban tengelam, yang selamat adalah mereka yang hidup di dataran tinggi yang saat ini adalah pulau-pulau di Indonesia saat ini. Sedangkan yang hidup di pulau Jawa tidak mungkin meneruskan peradaban tulis yang sudah ada dan tenggelam, jadi cerita didalam bentuk legenda dari mulut ke mulut dari generasi ke genersai maupun lebih diabadikan lagi dalam bentuk pementasan wayang kulit yang akhirnya menjadi buku Pustaka Raja Purwa maupun yang lain-lainnya.

Baru belakangan sejalan dengan tumbuhnya kerajaan Hindu di Jawa, buku Ramayana dan Mahabharata datang bersamaan dengan pengaruh penyebar agama Hindu dari India. Keberadaan buku Ramayana dan Mahabharata di Jawa hanya sebagai pembanding, karena cerita yang sama dan lebih lengkap sudah ada di Jawa dalam bentuk pementasan wayang kulit.

Teori Prof. Arysio Santos, bisa merupakan suatu cerita baru tentang legenda para pahlawan berbudi luhur yang bersumber dari peradaban Atlantis yang hilang, yang kemudian menyebar ke seluruh dunia. Menurut bukunya sudah ada paling tidak tiga siklus peradaban dunia yang hilang dikarenakan bencana alam yang sangat besar:

1. Bencana tsunami maha besar diakibatkan oleh meletusnya gunung Toba yang terjadi pada kurang lebih 75.000 tahun sebelum Masehi. Sehingga gunung Toba menyisakan kaldera sangat luas yang berupa danau Toba saat ini. Peradaban pra tsunami ini kemungkinan adalah yang diceritakan dalam episode Ramayana.

2. Bencana tsunami maha besar diakibatkan oleh meletusnya gunung Krakatau yang mengakhiri jaman es pada kurang lebih 11.000 tahun sebelum Masehi. Yang mengakibatkan gunung Krakatau tenggelam dan hanya kelihatan puncaknya di Selat Sunda saat ini. Peradaban pra tsunami ini kemungkinan adalah yang diceritakan dalam episode Mahabharata.

3. Bencana tsunami maha besar diakibatnya mencairnya es di puncak gunung Himalaya yang terjadi sekitar 3.000 tahun sebelum Masehi yang mejadikan peta India dan Indonesia seperti saat ini. Periode rekonstruksi peradaban yang hilang yang menjadi peradaban yang ada seperti sekarang ini.

Dulunya India dan Indonesia adalah menjadi suatu kesatuan kerajaan maha luas yang berpusat di Indonesia yang saat ini diperkirakan sebagai Atlantis yang tenggelam di Palung Sunda (Laut China Selatan dan Laut Jawa) ketika pulau-pulau di Indonesia masih bersatu dengan benua Asia.

Hal ini menimbulkan suatu spekulasi bahwa kisah Ramayana dan Mahabharata adalah memang kisah sebenarnya yang bukan terjadi di India. Karena sampai saat ini belum diketemukan suatu bukti yang cukup meyakinkan bahwa cerita ini terjadi di India. Ramayana dan Mahabharata adalah masih merupakan mitos di India.

Begitu juga sama kondisinya di Jawa, cerita pewayangan begitu hidup di masyarakat Jawa, dan kita bisa memetakan tempat-tempat di Jawa yang dari cerita turun-temurun merupakan tempat terjadinya cerita Ramayana dan Mahabharata. Hal ini juga masih mitos yang belum meyakinkan untuk dijadikan suatu dasar kebenaran sebagai fakta sejarah. Dalam bukunya The History of Java – Thomas Stamford Rafles memuat peta Jawa berdasarkan mitos Mahabharata (note: lihat peta).

Tentu saja teori Prof. Arysio Santos, bisa jadi akan menjungkirbalikkan cerita asal usul manusia dan peradaban dunia. Karena teori Prof. Arysio Santos walaupun masih merupakan teori yang harus dibuktikan dengan penemuan arkeolgi yang lebih meyakinkan. Bagi saya, teori ini bisa menjelaskan banyak legenda-legenda aneh yang ada di masyarakat Jawa pada khususnya, umpamanya:

1. Buku Babad Tanah Jawi menceritakan silsilah raja-raja Jawa berasal dari Nabi Adam dan seterusnya termasuk para dewa dan tokoh-tokoh dunia pewayangan sampai dengan raja-raja di Mataram, mungkin bukan sekedar mitos, didalamnya mengandung realitas, kalau memang peradaban berasal dari Indonesia.

2. Pustaka Raja Purwa adalah kisah pewayangan versi Jawa, yang ada kemungkinan berupa kisah yang memang berdasarkan realitas terjadi di bumi Indonesia pada masa sebelum Atlantis tenggelam. Cerita ini karena diabadikan dalam bentuk budaya wayang kulit secara turun temurun, bisa bercerita jauh lebih detil dari pada buku Ramayana dan Mahabharata versi India.

3. Kecenderungan bangsa Indonesia yang sinkretis adalah karena sumber peradaban ada di Indonesia (Ibu Peradaban). Jadi peradaban yang datang kemudian bukan sesuatu yang aneh buat bangsa Indonesia, pasti bisa diterima, tapi peradadan asli bangsa Indonesia masih tetap lestari. Ini adalah makna cerita legenda Sangkuriang di daerah Sunda dan legenda cerita Watu Gunung didaerah Jawa Tengah/Jawa Timur. Anak yang memperistrikan ibunya sendiri, sang anak tidak percaya karena telah bekeliling dunia, selalu berjalan menuju matahari terbit, sang ibu yang awet muda mengajukan syarat yang berat buat sang anak kalau mau memperistrikan ibunya yang akhirnya sang anak gagal memperistrikan ibunya. Buat penulis makna legenda ini adalah kecenderungan budaya sinkretis bangsa Indonesia. Anak yang hilang setelah keliling dunia kembali pada Ibu Peradaban.

4. Cerita tentang tempat-tempat terjadinya kisah pewayangan memang tejadi di Indonesia, banyak terdapat didesa-desa di Jawa yang diceritakan secara turun temurun, mungkin bukan mitos belaka tapi ada unsur realitasnya, walaupun memerlukan pembuktian lebih lanjut.

5. Cerita Sunan Kalijaga ketemu Yudhisthira di hutan Glagahwangi, mungkin bukan cerita bikinan, tapi memang realitas. Apa seseorang yang sudah menjadi wali berbohong? Karena peradaban sprituil yang tinggi memungkinkan seseorang hidup abadi atau berumur sangat panjang. Peradaban sprituil yang semacam ini masih sangat hidup di Jawa, yaitu explorasi roh menuju kepada kesempurnaan, karena roh bersifat abadi. Agama yang datang belakangan, sudah banyak yang meringankan ibadah kepada Yang Maha Kuasa, walaupun sudah diringankan masih banyak yang kesulitan untuk menjalankan. Apalagi ibadah yang bersifat menyempurnakan roh yang sangat jauh lebih berat, yang saat ini kebanyakan dijalankan oleh para sufi. Pada umumnya agama-agama yang datang belakangan melarang pembicaraan masalah roh. Sedangkan pengetahuan spiritual di Jawa adalah justru roh harus diexplorasi menuju kesempurnaan kembali ke pada asal mulanya. Mungkin pengetahuan mengenai roh pada masa lalu telah banyak disalah gunakan oleh manusia, sehingga terjadi hukuman berupa hancurnya peradaban manusia seperti gelombang tsunami dengan tenggelamnya peradaban Atlantis.

6. Penduduk Jawa umumnya sangat trumatis pada laut selatan. Ada kemungkinan merupakan sisa trumatis tsunami pada masa lalu, adat istiadat para penduduk pantai selatan Jawa yang menunjukkan trauma terhadap laut:
a. Adanya legenda Nyai Loro Kidul penguasa laut selatan yang ditakuti.
b. Ada adat istiadat yang mengharuskan semua rumah di daerah pantai laut selatan bahkan hampir di seluruh rumah di pedesaan di Yogyakarta harus menghadap ke selatan. Bukan menghadap ke jalan, tapi harus menghadap ke selatan. Ini adalah suatu bentuk kewaspadaan terhadap bahaya yang berasal dari laut.
c. Ada larangan adat istiadat mendirikan bangunan terlalu dekat dengan pantai (sekitar 1 km dari pantai dibiarkan kosong).
Sudah barang tentu larangan adat-istiadat yang masih saya rasakan pada saat saya kecil sudah tidak digubris lagi saat ini, oleh karena itu jangan disalahkan kalau Pantai Parangtritis dan Pantai Pangandaran disapu tsunami.

7. Orientasi darat bangsa Indonesia - pada umumnya walaupun hidup dikepulauan bangsa Indonesia berorientasi ke darat terutama pulau-pulau di Indonesia bagian Barat. Teori Prof. Aryso Santos bisa menjelaskan, karena masa lalu bangsa Indonesia adalah suatu kerajaan benua yang besar, sampai saat ini orientasinya adalah negara benua bukan negara laut. Ini terbukti dengan pengembangan Angkatan Darat yang lebih maju, bukan Angkatan Lautnya. Pembangunanpun berorientsai ke darat bukan pengembangan pembangunan kelautan. Bahkan menyebut tanah tumpah darah Indonesia sebagai ibu pertiwi (pertiwi berarti tanah). Walaupun pada masa kerajaan Majapahit berhasil dirubah, setelah itu kembali ke asal mulanya lagi. Ini sejalan dengan teori psikologi yang mengatakan bahwa seseorang dibawah tekanan cenderung akan memperlihakan pembawaan aslinya. Tekanan penjajahan Belanda menyebabkan suatu reaksi otomatis dari bangsa Indonesia berorientasi ke darat kembali. Kembali pada asal mula kebiasan awal bangsa Indonesia sebagai kerajaan benua. Hal ini masih sangat sulit dirubah sampai saat ini, sampai bangsa Indonesai bisa menghilangkan trauma penjajahan, kembali menjadi bangsa merdeka yang mengembangkan orientasinya secara rational sesuai dengan realitas yang ada.

Buku dari Prof. Arysio Santos ini bisa merupakan titik balik dari persepsi asal mula peradaban manusia yang selama ini selalu di claim berasal dari Barat dengan para filsuf Yunani sebagai sumbernya. Tapi Plato sendiri bercerita bahwa sudah ada peradaban jauh sebelum itu yaitu di benua Atlantis yang tenggelam dua kali. Hal ini yang secara spekulatis bisa diterjemahkan sebagai budaya Ramayana dan budaya Mahabharata yang memang ada jeda waktu antara keduanya. Sedangkan jeda waktu antara kisah Ramayana dan kisah Mahabharata ini tidak ada yang tahu persis. Kemungkinan besar adalah siklus peradaban manusia diantara bencana tiga tsunami besar yang pernah menimpa dunia seperti yang dikemukakan oleh Prof. Arysio Santos.
Bagi kita di bangsa Indonesia, menurut penulis bisa menyikapi penemuan Prof. Arysio Santos dengan paling tidak dua hal, yaitu:

1. Mencari bukti yang lebih konkrit bahwa teori ini benar yang bisa dijadikan modal sebagai kebanggaan nasional. Ini adalah tugas berat dari arkeolog maupun sejarawan Indonesia. Karena apa yang kita ketahui saat ini tentang Indonesia dimasa lalu lebih banyak bersumber dari literatur Belanda dan hasil penyelidikan para peneliti Barat yang ada kemungkinan bias dengan superiority bangsa Barat yang cenderung merendahkan kemampuan bangsa Timur dan menganggap bahwa peradaban subtropis lebih unggul dibandingkan dengan peradaban tropis.

2. Indonesia pernah tenggelam dalam tiga tsunami super dahsyat. Menurut buku ini pada tsunami letusan gunung Krakatau yaitu siklus ke-2 gelombang tsunami yang menengelamkan Atlantis, 20 juta nyawa melayang, jauh lebih dahsyat dari tsunami di Aceh yang merengut 400 ribu nyawa. Peradaban manusia mulai dari nol kembali, karena sisa-sisa yang hidup tidak cukup mampu merekam semua peradaban yang ada dan melaksanakan dalam bentuk nyata, oleh karena hanya tersisa legenda-legenda, yang sudah barang tentu secara terus menerus dari generasi ke genersi mengalami distorsi.
Bisa disimpulkan bahwa kawasan di Indonesia sangat rawan tsunami. Sungguh mengherankan bahwa kesadaran adanya bahaya tsunami baru terjadi setelah ada tsunami di Aceh yang dalam periode sangat singkat merenggut 400 ribu nyawa. Ini adalah kurang lebih 5.000 tahun setelah terjadi tsunami hebat akibat melelehnya gunung es Himalaya (menurut Prof. Arysio Santos).
Sebagai kewaspadaan, bukan tidak mungkin tsunami maha dahsyat akan melanda Indonesia kembali yang akan menyisakan lebih sedikit pulau lagi yang bernama Indonesia. Ini sangat mungkin terjadi apabila, manusia Indonesia tidak mau kembali pada tingkahlaku yang lebih baik dari yang saat ini. Karena yang selamat menurut legenda Atlantis dari Plato adalah para pahlawan berhati luhur yang menyebarkan perdaban keseluruh dunia. Ini sangat relevan dengan peringatan R. Ng. Ronggowarsito dalam Serat Kalatida untuk selalu eling dan waspada. Atau lengkapnya:
• Nawung krida, kang menangi jaman gemblung, iya jaman edan, ewuh aya kang pambudi, yen meluwa edan yekti nora tahan.
Artinya: Untuk dibuktikan, akan mengalami jaman gila, yaitu jaman edan, sulit untuk mengambil sikap, apabila ikut gila/edan tidak tahan.
• Yen tan melu, anglakoni wus tartamtu, boya keduman, melik kalling donya iki, satemahe kaliren wekasane.
Artinya: Apabila tidak ikut menjalani, tidak kebagian untuk memiliki harta benda, yang akhirnya bisa kelaparan.
• Wus dilalah, karsane kang Among tuwuh, kang lali kabegjan, ananging sayektineki, luwih begja kang eling lawan waspada.
Artinya: Sudah kepastian, atas kehendak Allah SWT, yang lupa untuk mengejar keberuntungan, tapi yang sebetulnya, lebih beruntung yang tetap ingat dan waspada (tetap berbudi pekerti baik dan luhur).

Setelah membaca buku ini, mitos-mitos yang saya baca dengan kesenangan saya membaca naskah-naskah Jawa Kuno yang sudah dilatinkan (Note: Termasuk membaca buku-buku almarhum ayah saya yang semuanya pakai huruf Jawa), mitos-mitos ini seolah-olah menemukan realitasnya. Banyak mitos-mitos menjadi masuk akal apabila peradaban manusia memang berasal dari Indonesia. Akan menemukan realitasnya apabila kita bisa menemukan temuan-temuan arkelologi yang lebih meyakinkan.

Karena sejarah bangsa Indonesia sebelum tarih Masehi masih sangat gelap, belum ada fakta yang konkrit. Hanya samar-samar dari berbagai sumber ada negara yang bernama Jawa Dwipa yang diartikan sebagai pulau Jawa punya peradaban yang sangat maju dan kaya raya dimasa lalu.

RADEN ANTASENA KAWIN

Prabu Duryudana, Prabu Baladewa, patih Sangkuni dan R.Tirtanata sedang bersidang di Balairung istana Astina untuk membahas pelaksanaan perkimpoian putra mahkota negeri Astina R. Suryakusuma dengan Dewi Janaka yang telah dipersuntingkan dan dipertunangkan dengan R. Antasena putra R. Werkudara.

Prabu Duryudana percaya dengan kelihaian Pendeta Durna bahwa pertunangan Dewi Janakawati dengan R. Antasena dapat digagalkan yang akhirnya Dewi Janakawati akan dipersandingkan dengan R. Suryakusuma. Prabu Kresna sedang bingung atas permintaan putranya Samba untuk dikimpoikan dengan Janakawati, mengingat Dewi Janakawati telah dipertunangkan dengan R. Antasena putra Werkudara. Prabu Dasa Kumara raja negeri Krenda Bumi juga tergila-gila dengan Dewi Janakawati dan ingin memperistri, maka dengan diikuti adiknya Prabu Dewa Pratala beserta bala tentaranya pergilah Prabu Dasa Kumara menuju Kasatrian Madukara.

R. Janaka menghadapi banyaknya pelamar yang ingin mempersunting putrinya Dewi Janakawati, akhirnya diadakan sayembara bertanding, dengan ketentuan siapa yang kalah dipersilahkan pulang kenegeri asalnya, dan barang siapa berbuat curang dinyatakan pihak yang kalah. Maka R. Samba, R. Suryakusuma, Prabu Dasa Kumara dan R. Antasena saling berhadapan mengadu kesaktian. Yang akhirnya R. Antasena memenangkan sayembara untuk memiliki Dewi Janakawati.

Melihat R. Antasena yang tidak berhias dan bersehaja, Dewi Janakawati tidak mau dipersandingkan, akhirnya R. Janaka dengan senjata Kyai Pamuk menhajar R. Antasena dan keanehan terjadi bahwa R. Antasena tidak binasa dan luka terkena senjata R. Janaka justru sebaliknya menjadi kesatria yang tampan, gagah dan perkasa sehingga Dewi Janakawati bersedia dipersandingnya perkimpoian Dewi Janakawati dengan R. Antasena, Prabu Dewa Pratala mengamuk di kesatrian Madukara sebab kakandanya Prabu Dasa Kumara telah ditolak lamarannya memperistri Dewi Janakawati tetapi hal ini bisa ditangani oleh putra Pendawa. Prabu Dewa Pratala yang mengamuk dapat dikalahkan R. Antasena dan melarikan diri sambil menculik Dewi Pergiwati istri Gatotkaca yang akhirnya terjadilah saling kejar mengejar diangkasa dan Prabu Dewa Pratala dapat dibinasakan R. Gatotkaca.

Dengan binasanya Prabu Dewa Pratala negeri Amarta menjadi tenang dan R.Suryakusuma beserta pengiringnya kembali ke negeri Astina, Prabu Kresna dan R.Samba juga kembali ke negeri Dwarawati.

KUDA LUMPING KESENIAN ASLI INDONESIA




Kuda Lumping Kesenian Tradisional Indonesia

Kuda Lumping juga disebut "Jaran Kepang" adalah tarian tradisional Jawa menampilkan sekelompok prajurit tengah menunggang kuda. Tarian ini menggunakan kuda yang terbuat dari bambu yang di anyam dan dipotong menyerupai bentuk kuda. Anyaman kuda ini dihias dengan cat dan kain beraneka warna.
Tarian kuda lumping biasanya hanya menampilkan adegan prajurit berkuda, akan tetapi beberapa penampilan kuda lumping juga menyuguhkan atraksi kesurupan, kekebalan, dan kekuatan magis, seperti atraksi memakan beling dan kekebalan tubuh terhadap deraan pecut. Jaran Kepang merupakan bagian dari pagelaran tari reog. Meskipun tarian ini berasal dari Jawa, Indonesia, tarian ini juga ditampilkan oleh kaum pendatang dari Jawa yang tinggal di Malaysia dan Singapura.
Konon, tari Kuda Lumping merupakan bentuk apresiasi dan dukungan rakyat jelata terhadap pasukan berkuda Pangeran Diponegoro dalam menghadapi penjajah Belanda. Ada pula versi yang menyebutkan, bahwa tari Kuda Lumping menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, yang dibantu oleh Sunan Kalijaga, melawan penjajah Belanda. Versi lain menyebutkan bahwa, tarian ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I, Raja Mataram, untuk menghadapi pasukan Belanda.
Terlepas dari asal usul dan nilai historisnya, tari Kuda Lumping merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran sebuah pasukan berkuda atau kavaleri. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan ritmis, dinamis, dan agresif, melalui kibasan anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya seekor kuda di tengah peperangan.
Seringkali dalam pertunjukan tari Kuda Lumping, juga menampilkan atraksi yang mempertontonkan kekuatan supranatural berbau magis, seperti atraksi mengunyah kaca, menyayat lengan dengan golok, membakar diri, berjalan di atas pecahan kaca, dan lain-lain. Mungkin, atraksi ini merefleksikan kekuatan supranatural yang pada jaman dahulu berkembang di lingkungan Kerajaan Jawa, dan merupakan aspek non militer yang dipergunakan untuk melawan pasukan Belanda.
Di Jawa Timur, seni ini akrab dengan masyarakat di beberapa daerah, seperti Malang, Nganjuk, Tulungagung, dan daerah-daerah lainnya. Tari ini biasanya ditampilkan pada event-event tertentu, seperti menyambut tamu kehormatan, dan sebagai ucapan syukur, atas hajat yang dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa.
Dalam pementasanya, tidak diperlukan suatu koreografi khusus, serta perlengkapan peralatan gamelan seperti halnya Karawitan. Gamelan untuk mengiringi tari Kuda Lumping cukup sederhana, hanya terdiri dari Kendang, Kenong, Gong, dan Slompret, yaitu seruling dengan bunyi melengking. Sajak-sajak yang dibawakan dalam mengiringi tarian, biasanya berisikan himbauan agar manusia senantiasa melakukan perbuatan baik dan selalu ingat pada Sang Pencipta.
Selain mengandung unsur hiburan dan religi, kesenian tradisional Kuda Lumping ini seringkali juga mengandung unsur ritual. Karena sebelum pagelaran dimulai, biasanya seorang pawang hujan akan melakukan ritual, untuk mempertahankan cuaca agar tetap cerah mengingat pertunjukan biasanya dilakukan di lapangan terbuka. Dalam setiap pagelarannya, tari Kuda Lumping ini menghadirkan 4 fragmen tarian yaitu 2 kali tari Buto Lawas, tari Senterewe, dan tari Begon Putri.
Pada fragmen Buto Lawas, biasanya ditarikan oleh para pria saja dan terdiri dari 4 sampai 6 orang penari. Beberapa penari muda menunggangi kuda anyaman bambu dan menari mengikuti alunan musik. Pada bagian inilah, para penari Buto Lawas dapat mengalami kesurupan atau kerasukan roh halus. Para penonton pun tidak luput dari fenomena kerasukan ini. Banyak warga sekitar yang menyaksikan pagelaran menjadi kesurupan dan ikut menari bersama para penari. Dalam keadaan tidak sadar, mereka terus menari dengan gerakan enerjik dan terlihat kompak dengan para penari lainnya. Untuk memulihkan kesadaran para penari dan penonton yang kerasukan, dalam setiap pagelaran selalu hadir para datuk, yaitu orang yang memiliki kemampuan supranatural yang kehadirannya dapat dikenali melalui baju serba hitam yang dikenakannya. Para datuk ini akan memberikan penawar hingga kesadaran para penari maupun penonton kembali pulih.
Pada fragmen selanjutnya, penari pria dan wanita bergabung membawakan tari senterewe.
Pada fragmen terakhir, dengan gerakan-gerakan yang lebih santai, enam orang wanita membawakan tari Begon Putri, yang merupakan tarian penutup dari seluruh rangkaian atraksi tari Kuda Lumping.